24.6.17

Lebaran Pertama Tanpa Eyang Uti; Sebuah Surat Cinta

Tulisan ini dibuat secara impulsif. Saat mata enggan terpenjam di malam lebaran 2017. 

Tahun ini, lebaran tidak akan pernah sama lagi seperti tahun sebelumnya. Bukan, bukan karena sekarang saya bekerja sebagai jurnalis yang dikenai kewajiban untuk piket di hari libur, itu salah satunya. Tapi yang paling membuat lebaran tahun ini dan tahun selanjutnya akan berbeda adalah karena Eyang Uti sekarang sudah tidak lagi berada di tempat yang sama dengan tahun sebelumnya. Eyang Uti kami, meninggal dunia dengan tenang pada Desember 2016 lalu. 

Beberapa tahun belakangan, saya sering mengeluhkan dalam hati, betapa sepinya rumah Banjarnegara semenjak Bude Ipuk berpulang. Sekarang, rumah itu akan semakin sepi tanpa kehadiran Eyang Uti. 

Saya ingat, waktu kecil, saya adalah cucu yang manja. Baik kepada Eyang Uti, maupun Eyang Kakung. Ibu, Eyang Uti, dan Eyang Kakung sering bercerita betapa, waktu kecil, saya seringkali tidak mau tidur jika tidak digendong oleh salah satu Eyang saya itu atau jika tidak diajak berkeliling naik mobil oleh orangtua saya. Merepotkan sekali tentunya. 

Saat kelas 2 SD, Eyang Kakung saya meninggal dunia. Itu adalah kehilang terbesar pertama saya, di usia sebelia itu. Saya sedih. Sedih sekali. Hingga kini dada saya masih sesak oleh rindu setiap kali saya mengingat Eyang Kakung saya yang nyaris tidak pernah berkata "tidak" pada saya. Yang selalu memanjakan dan membelikan apapun yang saya inginkan. Eyang Kakung meninggalkan kenangan yang begitu banyak dan pertanyaan, "Kalau Eyang Kakung masih ada sampai sekarang, dia senang nggak ya, lihat saya sekarang?" atau "Apa ya kata Eyang Kakung kalau saja dia masih hidup?" di setiap hal-hal yang saya lewati, ketika saya menang lomba puisi di SMP, ketika saya lulus dan mendapatkan nilai sempurna di sidang skripsi, ketika saya bekerja sebagai jurnalis, bahkan ketika saya sedang labil-labilnya di SMA dan kerap kali berdebat dengan kedua orangtua saya. Maklum, saya begitu dekat dan manja dengan beliau. 

Eyang Uti meninggal beberapa waktu lalu, di usia saya yang 23 tahun. Meninggalkan begitu banyak kenangan dan kesedihan yang sedikit berbeda untuk saya. Jika Eyang Kakung pergi ketika saya masih sedang manja-manja dengan beliau, Eyang Uti pergi ketika saya tengah disibukkan oleh diri saya sendiri. Ketika saya sedang menata kembali hidup saya pasca dikoyak-koyak oleh quarter life crisis. 

Yang membuat saya sedih, Eyang Uti pergi setelah saya jarang menelponnya, setelah saya jarang mengunjunginya, setelah saya dapat hidup tanpa bermanja-manja dengannya lagi. Dulu, banyak kenangan yang saya lalui dengannya dan bahkan, yang tidak bisa saya lalui jika tidak dengannya. Semakin besar, saya seperti berjalan 'menjauh'. Walau saya selalu mengingatnya, tapi jarang sekali saya sisakan waktu untuk menelpon. Jika ingat untuk menelpon di sela-sela kesibukan, sampai di rumah saya justru langsung tertidur pulas karena kelelahan. 

Saya masih ingat bagaimana Eyang Uti selalu membaca koran di ruang tamu rumah Banjanegara, bagaimana ia kerap kali membangunkan saya pagi-pagi dan selalu saya kerjakan dengan ogah-ogahan karena merasa masih butuh tidur, bagaimana saya seringkali tidak doyan dengan masakan di Banjarnegara karena dirasa terlalu manis dan bagaimana ia selalu khawatir jika saya belum makan dan bertanya berulang kali saya mau makan apa. 

Saya selalu suka mendengar cerita sejarah dari versi apa yang Eyang Uti lihat, bagaimana ia melihat perang dan jaman penjajahan, saya selalu suka mendengar cerita bagaimana Eyang Kakung dan dia bertemu, saya selalu bangga memiliki Eyang Uti yang masih membaca hingga usia senja. 

Dari hati yang paling dalam, saya sebenarnya sangat menyayangi Eyang Uti. Dulu dan kini. Rasa sayang saya tidak pernah berubah, saya pun yakin, rasa sayang beliau pada saya tidak pernah berubah, bahkan mungkin semakin besar. 

Saat ia semakin tua dan kondisinya semakin menurun, lewat sambungan telepon ia kerap kali menanyakan kapan saya datang, ia kerap kali berkata betapa ia merindukan saya. Tapi jarak dan waktu yang tidak bisa membuat saya sering-sering datang. 

Kepergian Eyang Uti, membuat saya kadang berpikir, "Harusnya saya lebih sering menelepon, harusnya saya lebih sering ngobrol dengan Eyang saat di Banjarnegara, bukannya malah sibuk menyendiri di kamar dengan alasan butuh istirahat, harusnya begini, harusnya begitu," pikiran yang sudah seharusnya diikhlaskan karena bagaimana pun, waktu tidak bisa diulang. 

Saya tahu, Eyang Uti tahu saya menyayanginya. Hanya saja, terkadang ada kesedihan yang membuat saya berpikir, kalau saja saya tidak terlalu egois mengurusi hidup saya dan memikirkan diri saya melulu, mungkin banyak waktu yang bisa saya gunakan untuk menjadi lebih dekat dengan Eyang Uti, seperti waktu saya kecil. 

Tapi, semua sudah lewat. Yang saya syukuri, saya masih sempat meminta maaf kepada beliau dan mengecup keningnya sebelum beliau berpulang. Yang saya syukuri, saya yakin beliau mendengarnya dan memahaminya. Yang saya syukuri, saya ada di sana mengantar beliau ke tempat peristirahatan terakhir dan memberikan bakti terakhir. 

Saya menulis agar saya lega karena saya begitu diganggu oleh rasa kehilangan malam ini. Saya tahu, beliau kini tengah berjalan ke tempat yang lebih baik. Beliau kini mungkin sedang berlebaran dengan Eyang Kakung. Jadi seharusnya saya tidak perlu sedih, seharusnya saya mengambil hikmahnya. 

Yang saya inginkan kini, hanyalah semoga Eyang Uti beristirahat dengan tenang di alam sana. Semoga Allah SWT selalu menerangi jalannya menuju surga. Aamiin ya Rabb. 

Sampai bertemu lagi, Eyang Uti dan Eyang Kakung. Saya sayang kalian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar